Breaking News
Loading...
Selasa, 04 Mei 2010

Paint of Life…



Ia duduk di atas hamparan rumput hijau sekolah. Sore ini, ia ingin menuntaskan kerinduannya kepada sang sore. Indah! Di matanya, langit tampak begitu memesona. Langit berwarna jingga terbias oleh binar surya yang melemah. Semburat cahaya jingga itu menyepuh rerumputan, pepohonan, jalanan, tiang-tiang, dan semuanya tampak kuning keemasan. Perlahan lirih angin menghembuskan nafasnya. Angin sore yang teduh itu membawa hawa kesejukan. Rambut gadis itu seakan tersapu menjuntai oleh sisiran desir angin sore yang lembut. Dari kajauhan, mata gadis itu nampak bersinar, layaknya pelangi...

Di matanya, ia tangkap ketakjuban itu. Ia rasakan kedamaian yang tersembunyi dibalik sore, dibalik hijaunya pepohonan yang mulai kemuning, dibalik indahnya peraduan bumi, dan dibalik bayang-bayang siluet senyum sahabat yang ia cintai. Ia rasakan desir udara seakan mengelus-elus rerumputan sekolahan yang kuncupnya tengah merekahkan putih seperti kapas, bergoyang-goyang menari bagai ombak. Burung, yang tengah kembali ke sarang. Ia lihat di kajauhan, tertancap bukit-bukit, bukit-bukit yang terlihat sempurna ketika senja tiba. Subhanallah, sore ini benar-benar sore yang indah. Semburat cahaya kuning dan hembusan lirih angin seakan melantunkan nyanyian-nyanyian kehidupan. Nyanyian-nyanyian yang syahdu. Nyanyian-nyanyian yang menghantarkannya pada waktu-waktu silam. Waktu dimana ceria canda tawa kebahagiaan memenuhi isi relung dadanya. Ya, waktu dan suasana sore seperti ini adalah momen pergantian waktu adalah hal yang paling ia nanti. Ia mencintai waktu sore senja.

Di hatinya, perlahan ada deru gebu yang menghempas. Ada gemuruh yang memecah. Hatinya berseteru, kembali ia teringat hal yang paling ia cintai di dunia. Perlahan jatuhlah tangis. Mengalir tetesan bening di pelupuk matanya, bagai embun ketika pagi. Nafasnya mulai mendesah. Ia seakan tak kuasa menahan kenyataan yang pasti tiba. Hatinya berontak. Ia ingin teriak. Perlahan dari bibir mungilnya lirih berkata...

Aku nggak mau pisah. Aku nggak mau pisah. Aku cinta sahabat-sahabatku. Aku cinta mereka. Aku mau disini, mau tetap disini. Aku nggak mau pisah. Nggak! Nggak! Aku benci perpisahan. Allah, aku nggak ingin pisah... aku cinta mereka. Aku. Aku mau terus bersama mereka.

Angin kembali membisikkan kata-kata, nyanyian terus mengalun, menghadirkan kenangan lalu-lalu yang indah-indah dan takkan sirna di ingatan. Ia ingat wajah sahabatnya, ia lihat senyum sahabatnya yang mengembang.

Melihat tawamu
Mendengar senandungmu
Terlihat jelas di mataku
Warna-warna indahmu...

Ia ingat kelas yang begitu ia cinta. Ia lihat wajah kelas di ufuk hatinya, masih tergambar potret-potret kelas di hatinya. Kelas yang menyimpan berjuta kenangan. Kelas yang memiliki orang-orang yang luar biasa. Kelas yang mempunyai khas akan manjangnya. Kelas yang warganya suka gitaran dan bernyanyi. Kelas, yang bersahabat penuh persaudaraan. Tapi ada juga sahabat yang malah persahabatan jadi cinta, mencintai sahabat sendiri, hingga sahabat lain mengnyindir dengan kongek-an yang menjengkelkan. Ia ingat, wajah sahabatnya yang begitu perhatian dengannya. Ia ingat seorang sahabat yang agak kekanak-kanakan sifatnya. Ia ingat sahabat yang begitu pintar pelajaran kimia. Ia ingat wajah sahabatnya yang amat cengeng. Ia hadirkan wajah sahabatnya yang begitu pendiam di kelas. Ia tatap lekat-lekat di pelupuk hati wajah sahabatnya yang suka main hape ketika sedang belajar. Ia ingat wajah sahabatnya yang nge-fans dan suka kepada seorang guru bahasa indonesia. Ia hadirkan lagi wajah-wajah sahabatnya. Ia ingat, wajah sahabatnya yang berbeda keyakinan di kelasnya, ia kembali ingat, perbedaan itu bukan penghlang untuk bersatu dan bahagia. Ia ingat, wajah sahabat-sahabat jilbaber yang penuh kenangan. Ia tatap, ia ingat, ia hadirkan wajah sahabatnya yang suka mengajarinya. Ia ingat, sosok sahabat yang punya tahi lalat. Ia ingat, tawa sahabat yang selalu tampil kocak, sahabat yang dengan hadirnya terasa ramai. Ia ingat, ia lihat senyum ketegaran sahabatnya, ia ingat sahabatnya yang satu ini sering sekali mengirim sms pemberitahuan sesuatu ke seluruh sahabat tanpa terkecuali, dan tidak ada yang seperti dia. Ia ingat nama sahabat yang selalu memanggil diri sendiri dengan "namanya", bukan "aku". Ia tatap wajah sahabatnya yang suka menulis. Ia juga ingat wajah sahabatnya yang agak males tapi sering ber-usaha. Semuanya indah. Semuanya takkan bisa terlupa...

Kembali hatinya mendesah. Air mata terus berderai jatuh membasahi baju yang diam. Resah.

Aku nggak mau pisah! Nggak mau! Aku ingin disini. Ingin tetap disini. Aku nggak mau kehilangan orang-orang yang kucinta. Aku nggak mau......

Ia kembali teringat, saat-saat bersama sahabatnya yang luar biasa. Ia ingat ketika dengan narsis dan tanpa malunya berfoto semaunya bersama sahabat. Ya, hanya dengan sahabat kita bisa seperti itu. Ia ingat saat makan bersama di kantin, dengan tanpa malu di hadapan orang-orang makan banyak-banyak sambil tertawa. Sekali lagi itu hanya ada dengan sahabat. Ia ingat saat bersama sahabat-sahabatnya membakar ikan. Meski hangus nikmatnya ikan begitu terasa, ya, itu karena sahabat. Ia ingat ketika metis bersama. Ia ingat, ketika ramai-ramai menginap di rumah seorang teman, hingga larut masih tertidur karena bermain Samhong, dan memolesi sahabat yang kalah dengan tepung. Hal-hal ajaib itu hanya ada bersama sahabat. Ya, sahabat!

Sahabat.... aku cinta kalian. Aku nggak mau kalian pergi! Aku mau kalian terus ada.

Dan air mata terus membasahi. Nyanyian-nyanyian sendu terus menggelayuti tangga nada hati. Kenangan. Senyuman. Keceriaan. Canda. Pelajaran kehidupan. Dan berjuta kejadian berpendar cepat di otaknya. Guruh kembali menghempas di ombak mimpinya. Hatinya bergemuruh sulutkan keajaiban-keajaiban kecil dalam persahabatan. Matanya terus berkaca, pandangannya mulai keruh oleh air mata...

ia adahkan pandangannya yang sedari tadi tertunduk, ia tatap senja yang indah dan angin yang lembut. Ia jadi teringat gurunya. Gurunya yang memberi ilmu selalu. Guru yang seakan orang tuanya sendiri. Guru, yang ketika sakit masih memaksakan untuk mengajar. Ia lihat senyum guru-gurunya. Ia ingat guru yang begitu peduli dengan kepentingan-kepentingan siswa. Ia ingat guru yang sangat sering memberi nasihat-nasihat untuk anak-anaknya. Guru, yang tidak hanya ingin mengajarkan eksak, tapi ingin mengajarkan juga siswanya tentang kehidupan. Begitu banyak pelajaran kehidupan yang guru berikan, tapi apa, apa yang sudah gadis itu beri untuk sekolah? Mana mungkin ia bisa lupakan ketika ia terlambat sekolah dan dihukum. Mana bisa ia lupakan ketika ia tidak sekolah dengan alasan sakit yang dibuat-buat. Mana mungkin ia lupa saat ketika belajar, ia ribut di belakang dan malah memainkan hape. Mana mungkin ia lupa kedongkolan guru untuk kelasnya karena ribut dan sebagainya. Mana mungkin ia lupa ketika ia bisanya cuma mengomentari, mencemooh, padahal apa yang ia beri untuk sekolah ini?

Kembali air mata deras membasahi. Butir bening di sudut mata, menjadi saksi perpisahan. Begitu banyak yang gurunya harapkan, tapi ia pikir ia telah menyiakan harapan itu. Ia mengutuk dirinya. Ah, ia jadi teringat sebuah puisi yang lirih gurunya bacakan ketika terakhir kali mengajar di kelasnya...

Pergi ke dunia luas, anakku sayang!
Pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan
Dan matahari pagi menyinar daun-daunan
Dalam rimba dan padang hijau

Pergi ke laut lepas, anakku sayang!
Pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
Dan warna senja belum kemerah-merahan
Menutup pintu waktu lampau

...... 1

”Anakku, pergilah. Bertebaranlah di muka bumi. Jangan jadi katak yang dunianya sebatas tempurung. Pergilah! Menjauhlah! Temukan kehidupan. Perpisahan memang menyakitkan. Tapi apa, perpisahan memang harus dan mesti terjadi. Setiap orang pasti merasai. Ibu juga sedih kehilangan kalian. Tapi ibu harus melepas kalian, agar kalian sukses, bahagia, agar kalian mempelajari kehidupan. Nggak ada gunanya pelajaran yang kalian ambil selama ini. Nggak ada guna. Yang paling berguna adalah bagaimana kalian melewati kehidupan setelah perpisahan. Itu yang terpenting. Oleh karena itu, pergilah! Melesatlah sendiri. Jadilah orang yang baik. Jujur. Jangan lupakan sahabat kalian. Ketika kalian sukses nanti, kalian boleh kembali. Ibu tahu ibu banyak salah dengan kalian, buang salah ibu, ambil apa yang baik dari ibu...”

Tangis kembali menganak sungai. Begitu banyak harapan guru, namun ia siakan, ia campakkan, ia hempaskan. Namun ketika perpisahan terjadi di depan mata, ia sesali tanpa ampun. Ia merasa banyak sekali kesalahan untuk guru, untuk seorang yang seharusnya ia samakan dengan ayah dan ibunya. ”Maaf bu, pak, aku menyesal. Aku banyak mengecewakan kalian.” tutur hatinya.

Rasanya baru kemarin ia masuk SMA. Baru kemarin ia bertemu dengan sahabat baiknya. Rasanya baru kemarin ia SD dan SMP. Rasanya baru kemarin ia menangis dan turun ke dunia. Kenapa waktu begitu cepat berjalan? Begitu cepat waktu kedewasaan hadir? Kenapa? Kenapa kebahagiaan yang indah demikian terlewati? Padahal ia ingin canda dan tawa merengkuhnya dengan cinta dengan hadirnya sahabat-sahabat yang luar biasa. Tapi kenapa, wajah-wajah sahabat itu tiada....

Ia benci dengan perpisahan.

Suasana senja dan hembus bisikan angin terus memuhasabahinya. Ia lihat di titik peraduan itu, matahari tenggelam, sunset! Hari telah begitu sore dan hendak berjumpa malam. Ia lihat di timur, bulat redupnya bulan telah memanti untuk benderang dengan gagah nanti malam. Di tenggara, sepetik bintang seakan tak sabar untuk bercahaya. Sepuluh menit lagi maghrib tiba. Tapi ia masih ingin tetap disini.

Ia mulai menghapus air matanya. Menyeka butir bening tanda cinta-cintanya kepada sahabatnya. Hari demikian sore. Waktu memaksanya untuk meninggalkan hamparan rumput di sekolah kemuning ini. Namun di akhir, ia buat sebuah bait yang dengan sekejap hadir di pikirannya...

Sahabat, aku mencintaimu adanya
Menyangimu di segala musim dan cuaca
Perpisahan memang tiba
Pergilah engkau dengan cinta
Bertebarlah ke muka dunia bagai hujan
Hingga akhirnya kau mengalir temukan muara
Sampai kapanpun aku mencintaimu
Jangan lupakan aku sebagai sahabatmu
Kelak sore kita akan bercerita
Tentang kisah hidupmu, hidup kita
Yang selama ini mengwarnai ombak mimpi
Sebagai cat kehidupan...

____________________

1: Puisi karya Ahsin Sani berjudul ‘Surat dari Ibu’

* * * * *

0 komentar:

Posting Komentar

Apa komentar kamu tentang artikel barusan? Tulis ya komentarmu...

Quick Message
Press Esc to close
Copyright © 2013 Langit Inspirasi Untukmu All Right Reserved