Breaking News
Loading...
Sabtu, 15 Mei 2010

Facebook Facebook Cinta


Hari ini hari yang cerah banget. Saking cerahnya, setiap orang menyipitkan mata. Matahari udah gagah tegak panaskan semesta. Nyinari tiap titi langkah kota dengan cahaya. Yah, cahaya yang panasnya beda banget dengan hari-hari sebelumnya. Meski jam belum menunjukkan waktu siang hari ini rasanya lebih panas beberapa derajat ke atas.

Abis ngunci gembok pintu kost-an Sufi bergegas berangkat ke sekolah. Jarak dari kost-an ke sekolah nggak begitu jauh, kira-kira cuman dua ratus meter. Tiap hari Sufi berangkat dengan jalan kaki.


Terik matahari rasanya makin panas. Sufi memicingkan mata dan membenahi gagang kacamatanya. Perlahan Sufi tengok jam di hanphone miliknya, jam tujuh lewat sepuluh menit. Sufi mempercepat langkahnya, “Sebentar lagi bel masuk bunyi. Aku harus cepet, nggak boleh telat.” Gumam Sufi.

Nggak berapa lama Sufi udah berada di dalam kelasnya. Tujuh menit lagi bel tanda masuk berbunyi. Sufi sedikit kecape’an. Ia sedikit berkeringat. Ia mengibaskan jilbab putihnya biar sedikit terasa dingin. Emang, pagi ini kerasa beda. Matahari nggak juga ngehentiin sedikit panasnya, malah makin meningkat panasnya tiap detik.

“Suf, abis dikejar kambing ya? Kok keringetan begitu?” tanya Lia temen sebangku Sufi.
“Tadi berangkatnya agak buru-buru takut kesiangan. Lagi pula panas banget. Iya kan?”
“Iya emang panas kok. Eh, Suf, kamu dah punya efbi belum? Kalo udah add aku ya! Alamat email-ku Arlia underscores Siska et yahoo dot ko dot aidi.” Cerocos Lia.
“Efbi apaan, Sis? Udang rebon itu ya?”
“Itu mah ebi atuh! Hari gini nggak tau efbi? Oala bum bum, kamu ini nggak gaul amat sih, Suf! Efbi itu Facebook. Situs pertemanan. Buat kita nyari temen, cari kenalan, pokoknya seru deh. Kamu harus bikin efbi deh, Suf!”
“Yang bikin seru emang apanya, Sis?”
“Wuihhh, banyak! Kamu coba aja sendiri deh, ntar kamu bakal tau sendiri betapa serunya facebookan. Di facebook, kita bisa chattingan, diskusi, upload foto, nulis diary, cari kenalan, trus bisa juga buat cari pacar lho...” kembali cerocor Siska mirip tukang sales MLM.
“Gitu? Aku belum percaya, masak kayak gitu aja bisa jadi seru. Lagi pula buat apa cari temen, kan aku udah banyak temen. Buat apa nulis di facebook toh aku udah punya diary sendiri. Dan nggak perlu chattingan karena kan bisa SMS di hape. Huh, lagi pula, gaul itu kan nggak diukur dari punya facebook atau nggak punya facebook. Iya kan, Sis?”
“Iya juga sih. Tapi terserah kamu deh. Jangan salahin aku ya kalo tiba-tiba kamu kecanduan gara-gara gila facebook.”

Sufi tersenyum sinis. Sufi termasuk orang yang suka berbicara dalam hati. Dalam hati ia bicara, “Huhh... dikit-dikit fesbuk. Dimana-mana fesbuk. Emangnya fesbuk segalanya?”.

Emang, akhir-akhir ini satu SMA meledak dengan maraknya facebookers. Tiap siswa banyak yang daftar ke facebook biar nggak dianggap ketinggalan jaman. Selain itu ditambah lagi beberapa lagu-lagu pop yang menyemarakkan untuk online-online, dan semua yang berbau dengan dunia maya. Beberapa temen Sufi menyarankan untuk punya akun di facebook. Nggak cuma Siska, sebelumnya sudah banyak teman yang cerita tentang situs pertemanan yang satu ini. Baik lewat SMS, di kantin, di perpus, juga di atap sekolah (hehe,, apa coba?). Pokoknya satu sekolahan udah santer deh keserang penyakit online.

Setiap pagi sebelum bel pertama bunyi semua orang rata-rata pada megang yang namanya hape. Buat apa coba? Kebanyakan fesbukan! Nggak kehitung banyaknya siswa yang pada punya hape (nggak ngitung maksudnya!). Kayaknya hape udah jadi kebutuhan penting bagi para pelajar SMA. Tapi entah “pentingnya” itu dalam hal apa, mungkin “penting” bagi mereka adalah hal yang sebenernya nggak begitu penting: SMS dan telpon sampe-sampe berlebihan. Malah mungkin ada yang menjadikan handphone sabagai Tuhan.

Teeeeettttt.........

Bel akhirnya berbunyi. Semua siswa memasuki seisi kelas. Siswa yang tadinya online beberapa kini telah me-logout facebook mereka. Guru mata pelajaran memasuki kelas. Pelajaran begitu semarak. Matahari bersinar makin naik. Namun saat belajarpun ternyata masih ada aja siswa yang online saking gilanya dengan facebook. Huh...!!!

* * * * *



Jam pulang sekolah pun tiba. Beberapa siswa mulai beraksi: yang cowok menunggu yang cewek buat jalan bersama ketika pulang. Ada juga yang boncengan bareng. Semua gambaran itu nggak luput dari mata ketika waktu pulang sekolah. Kenapa ya...? Ada juga yang malah masih berada di lingkungan sekolah, mereka dua-duaan. Dan waktu sore baru pulang ke rumah masing-masing, dan kalo ditanya sama otrunya mereka pasti menjawab, “Ada pelajaran tambahan, Ma!”, “Kerja kelompok, Pa!”. Ada ya orang kayak gitu!

Tapi lain dengan Sufi. Pulang sekolah ini dia berniat nyari bahan materi buat tugas persentasi Fisika kelompoknya di warnet. Begitu keluar dari gerbang sekolah, Sufi lantas pergi ke warnet dimana dia suka langganan nge-net. Sufi kembali memicingkan mata, membenahi gagang kaca matanya. Sinar matahari masih terasa panas ternyata. Namun nggak menyurutkan hati gadis yang anggun ini untuk tetap pergi mencari bahan di warnet.

Sufi tiba di warnet langganannya. Tapi sayangnya semua bilik warnet udah pada penuh diisi dengan netter. Sufi lantas gigit jari. Terpaksa ia harus menunggu.

“Masih lama semua ya, Om?”
“Kurang tau, Suf! Kamu telat sih. Tapi kayaknya bilik nomor tiga udah mau selesai, soalnya dia udah lama... sekitar empat jam!” terang Om penjaga warnet.
“Haa...., empat jam? Emang dia buka apa, Om?”
“Kayaknya buka facebook. Malah kayaknya semua bilik pada mbuka facebook semua tuh.”
“Facebook lagi....”
“Kamu mau Om bikinin facebook?”
“Ehh..., nggak Om. Aku emang belum punya facebook, tapi kalo mau bikin aku sendiri bisa.”
“Oooo ya udah. Sufi, itu bilik nomor tiga sudah selesai. Sana gih!”

Sufi lantas menempati bilik nomor tiga. Sufi langsung berselancar di dunia internet. Ia buka search engine google buat mencari tulisan yang ia cari. Setelah dapet ia simpen di dalam flashdisk. Sufi terus menjelajahi dunia maya. Semua tulisan yang dianggap menarik dia simpen di flashdisk. Setelah bahan materi buat Fisika dirasa cukup Sufi membuka sebuah situs islami. Ia sangat senang saat membuka situs islami karena dapat menambah wawasan global tentang dunia islam, perkembangan islam, dan keterpurukan budaya islam di dada umatnya. Ia juga bisa melihat tausiyah, kisah, dan hikmah yang dia ambil dari situs islam terkemuka Indonesia.

Nggak kerasa waktu sudah berjalan empat puluh lima menit. Sufi lantas penasaran dengan yang namanya “Facebook”. Ia berpikir, “Buka facebook ah! Emang gimana sih rasanya. Toh nggak ada salahnya coba-coba. Hehe...”

Sufi membuka alamat www.facebook.com. Halaman pendaftaran langsung muncul. Sufi mendaftar. Ia isi nama, alamat email, password, tanggal lahir, dsb. Dan dalam sekejap Sufi udah memiliki akun facebook.

Sufi kemudian meng-upload gambar untuk foto profilnya. Tapi yang ia upload bukan gambar fotonya, melainkan foto animasi gadis berjilbab yang ia ambil dari flashdisknya. Maklum, Sufi emang kurang pede majang foto dirinya dimanapun. Karena menurutnya dia selalu tampil kurang cantik kalo difoto. So, meski di warnet sudah ada fasilitas webcam, tapi Sufi tetep nggak mau nampang wajah aslinya di facebook. Malu katanya,

Setelah proses meng-upload selesai Sufi langsung mencari teman sesuai yang diperintahkan pada halaman facebook. Ia add beberapa teman yang ia kenal. Teman sekelasnya. Teman Rohis, anak-anak OSIS, juga temen-temen di kelas lain.

Sufi perlahan ngeliat penghitung waktu. Ternyata sudah lima puluh lapan menit. “Wah dah ampir sejam!” ujar Sufi. Sufi lantas men-logout facebooknya dan menghentikan penghitung waktu. Seketika itu Sufi langsung keluar bilik dan membayar pada Om penjaga warnet.

“Berapa nih, Om?” tanya Sufi.
“Buat Sufi tiga rebu aja deh!” jawab Om penjaga warnet.
“Bener nih, Om?”
“Iya!”
“Wah.., makasih banget ya, Om!” “Kan sekarang tarifnya udah turun. Dari empat ribu per jam menjadi tiga ribu per jam. Kamu ngggak liat tulisan itu?” ucap Om warnet sambil nunjuk ke sesuatu.
“Huu dasar! Sufi kirain diskon.”
“ Hehe... diskonnya besok aja ya!”
“Tapi janji ya, Om?”
“Iya...”
“Makasih, Om!”

Abis percakapan itu Sufi bergegas pulang ke kost-an. Terbayang oleh Sufi pekerjaan melelahkan yang akan ia lakukan sebagai anak kost: nyuci piring, masak, nyapu, nggosok. Dan semuanya dilakuin sendiri. Sangat melelahkan memang jadi anak kost-an.

* * * * *

“Suf, kamu nge-add aku ya?” tanya Siska tepat pas Sufi memasuki kelas.
“Iyaaa....” lirih.
“Aku nggak nyangka akhirnya kamu bikin efbi juga. Oya, request dari kamu udah aku confirm lho. Gimana, facebook itu seru kan?” cerocos Siska.
“Belum berkenalan jauh dengan facebook. Aku baru daftar doang. Yah, cuma ngobatin rasa penasaran.”
“Serunya tuh kalo kamu dah punya banyak teman. Chatting, komentar, pesan, de-es-beh deh. Kalo nggak punya teman yaa... percuma aja bikin facebook!”
“Emang temen kalu udah berapa?”
“Hmmm, sekitar... dua ratusan gitu deh.”

Sufi ngerasa minder. Kemarin dia baru nge-add nggak lebih dari dua puluhan temen. Itupun mungkin belum di-confirm. Sedangkan siska udah banyak benget temennya.

“Suf, buka facebook kamu yuk!”
“Emang bisa? Lewat apa?”
“Ya bisa lah! Lewat hape, Suf.”

Siska lantas ngebuka facebook Sufi melalui handphone miliknya. Siska mengajari Sufi yang masih awam dengan facebook. Tentang apa itu wall, notes, notification, update status, dan sebagainya. Sufi mengangguk-angguk paham.

“Suf, kalo kamu mau terkenal, update terus status kamu tiap hari. Tulis notes. Nulis di wall orang. Upload foto dan komentarin.” Ujar Siska.
“Hmmm....” jeda. “Sis, hape aku bisa buat fesbukan nggak?” lanjut Sufi sambil menyodorkan hape miliknya.
“Walopun agak jadul, tapi hape kamu bisa juga kok buat fesbukan.”
“Yess!!” gumam Sufi.

Dari hanphone miliknya Sufi mulai meng-add beberapa teman yang ia kenal. Juga beberapa guru yang memiliki akun facebook. Hari berganti hari. Waktu mengganti Sufi menjadi orang yang tadinya benci dengan facebook malah jadi gila dengan facebook. Sekarang teman Sufi sudah sekitar seratus dua puluhan teman. Banyaknya teman jadi prestise tersendiri di hati Sufi. Tiap hari Sufi mbuka facebook meski padahal face masih ngantuk dan kayak orang mabuk serta kalo jalan ampir nubruk (hehe...). Dia update status meski cuma lewat handphone. Sebagai anak kost-an dia nggak bisa selalu online lewat warnet mengingat harus menghemat uang yang pas-pas-an. Mungkin hanya seminggu sekali dia online lewat warnet. Tapi facebook baginya sekarang adalah “kebutuhan” yang nggak bisa kalo nggak.

Sufi meng-update statusnya:

“Pagi ini aku ketemu dengan smile, happiness, dan ukhuwah. Mereka memintaku menunjukkan jalan ke rumahmu. Rupanya mereka ingin bersilaturahim denganmu. Yah, mudah2an mereka semua sudah sampai untukmu. Smile semoga sudah melukis senyummu, happiness semoga telah hadir di hatimu, dan aku titip salam buatmu lewat ukhuwah, semoga dia sudah menyapamu. Assalamu’alaykum, Saudaraku!”

Dan Zap, setelah beberapa menit muncullah lima komentar pada status Sufi,

“Waalaikumsalam! Alhamdulillah semuanya dah nyampe. Hehe...” dari Eka.
“Apa kabar Sufi?” Ridho.
“Have a nice day, Suf...” Husna.
“Suf, smile-nya nakal. Masak dia belepotan ngelukisnya? ^_^ ” Joko.
“Belum nyampe Ukht, sebagian teks hilang... hehe,,,” Rina.

Sufi lantas membalas semua komentar-komentar itu. Ia tersenyum-senyum sendiri terpaku di depan hape mungilnya. “Facebook, facebook, ternyata bener. Kamu tu seru!” hati Sufi bicara.

* * * * *




Senyum Pelangi

Mengharap kehadiranmu akankah sebuah mimpi
Atau hanya semata angan keniscayaan
Yang menjadi asa yang dingin pada tempat yang diingin

Sekecil apapun perhatianmu itu sangat menyanjungku
Sms-sms darimu bisa ciptakan beberapa menit senyumku
Sedetik miscall-mu, membuat hatiku beranjak, berdetak, dan berpacu
Aku senang bahwa ternyata kamu perhatian padaku
Sungguh, aku takut kehilanganmu…

Ah, yang penting hari ini ku tlah temukan
Senyum teduh yang mungkin dengan ikhlas kamu kembangkan
Yang kini buatku tersenyum, tersemangat,
Dan ronaku yang tidak bisa disembunyikan hingga kost-an
Wahai Senyum Pelangi…

Itulah bait puisi yang Sufi tulis di facebook. Sufi memang suka menulis puisi meski mungkin bagi sebagian orang ecek-ecek. Tulisan itu memang mewakili perasaan Sufi. Gini ceritanya, Sufi pernah punya rasa dengan seorang cowok. Dan cowok itu adalah seorang ikhwan yang emang cool sih. Cakep. Namanya Anas. Sufi dan Anas sama-sama aktif di organisasi. Ternyata si Anas nyimpen rasa juga untuk Sufi. Mereka berdua saling mencintai, jatuh cinta, dan cinta pertama. Tapi mereka tau bahwa islam tu ngelarang pacaran. Sebagai ikhwan dan akhwat mereka ngejaga nafsu itu meski mereka tau mereka saling mencintai. Mereka lantas menjalani hari seperti sahabat biasa tanpa status khusus—tapi di masing-masing hati mereka setingkat di atas cuma sekedar sahabat.

Tapi…, disamping itu ada pihak ketiga yang ngebikin perasaan mereka berdua tambah membuncah, yakni HP. Sufi dan Anas jadi sering banget kirim-kiriman SMS. Nggak siang nggak malem. Mereka ngobrol, becanda, curhat, dan tanya lain-lain bahkan soal hati. “Lagi ngapain?”, “Dah sholat belum?”, “Dah makan belum?” sering banget mewarnai keluar masuk antar hape mereka. Sufi dan Anas kadang juga saling membangunkan untuk sholat tahajud, sahur, de-el-el. Dengannya bertambahlah perhatian dan kasih sayang antar mereka. Hati mereka diliputi warna rona yang nggak bisa disembunyiin dihadapan Tuhan. Dada mereka penuh dengan sesakan membuncah kerinduan meski tanpa status. Sufi nggak ingin dibilang pacaran, tapi dia juga nggak pengen kehilangan perhatian dari Anas. Dan jadilah, Sufi dan Anas setingkat di atas sahabat, yang dipenuhi merah jambu-nya Cinta dan pelangi di ufuk hati mereka.

Tapi setelah setahun menjalani, Anas mulai menyadari apa yang dia lakukan. Anas bertekad untuk nggak SMS-an lagi dengan Sufi. Alasannya karena Anas ingin hidupnya normal kembali. Ia nggak ingin “kesenangan” menjajah hatinya dengan kedok “cinta”, ia ingin memurnikan keikhlasan. Meski cuma komunikasi lewat SMS, tapi Allah Maha tahu apa yang kesembunyi di balik hati pemilik hape-hape itu. Anas akhirnya memberanikan untuk bicara soal ini dengan Sufi.

“Ukht, aku harap kamu ngerti. Aku tahu rasa kamu sama dengan rasaku ke kamu. Sebenernya aku berat juga mau ngomong ini ke kamu karena aku takut kehilangan kamu. Suf, gimana kalo kita cukupkan disini perasaan kita?” ujar Anas suatu ketika.
“Maksud Akhi apa?”
“Mmmm…, kita jangan sering SMS-an lagi. Maksudku dikurangi aja lah. Aku yakin kamu tahu maksudku.”
“Tapi..”
“Suf, Allah Maha tau mana yang lebih kita cintai ketimbang Dia. Mulai sekarang kita saling menjaga aja ya! Sesungguhnya semua yang hilang itu nggak hilang, tapi kembali kepada pemilik yang Sebenarnya. Yuk kita captain rasa saling menjaga. Akan jadi apa ibadah kita kalo nggak diniatkan karena Allah. Aku rajin bangun tahajud, tapi karena terikat satu nama, nama kamu, tentu nggak ada harganya kan, Suf?”
“Tapi kan, itu cuma SMS…” lirih.
“Iya…, meskipun cuma SMS bagi aku bisa buatku inget kamu terus, membayangin kamu, semuanya kamu. Pasti kamu ngerasa sama dengan aku kalo kamu SMS-an dengan aku, senyum-senyum, cengar-cengir nggak karuan, dan lain-lain. Apa itu halal? Apa itu beda dengan khalwat dua-duaan? Ukhti, meski itu cuma SMS, tapi setan tetep ada. Setan berbaris antar hape-hape kita. Percayalah, ini jalan terbaik. Ayok kita saling menjaga hati, kamu jaga hati kamu. Aku jaga hati aku. Kita SMS kalo memang benar penting, bukan untuk membangkitkan rasa cinta. Ukht, aku sayang kamu! Yakinlah kita bisa, Ukhti!”

Sebenarnya berat juga bagi Sufi untuk mengindahkan permintaan seorang Ikhwan yang ia cintai. Sufi nggak mau interaksinya dengan Anas berkurang. Namun Anas kembali mengingatkan, “Islam itu ada batasan. Apa apa-apa yang udah kita lakuin selama ini berdasar dan dibolehkan?”. Sufi akhirnya menuruti permintaan Anas. Mulai saat itu jarang banget kirim SMS kecuali memang bener-bener penting. Namun di kotak hati terdalam Sufi masih mencintai Anas.

Satu tahun sudah cerita itu berlalu. Kini Sufi sudah kelas XII. Dan kini sudah mulai ber-fesbukan. Namun secarik nama Anas masih rapi tersimpan kukuh, ia mencintai Anas sepenuhnya. Hanya kata ini yang menguatkannya, “Yakinlah kita bisa, Ukhti!”

* * * * *

Sufi seakan tak percaya. Betapa ia tak bisa mengendalikan kenyataan yang ada di dirinya. Pikiran Sufi buyar. Air matanya meleleh tiada henti. Yang ia lakukan hanyalah menangis, membolak-balikkan badan di atas ranjang kamar kost-an, dan terus menangis. Ia kembali ingat ucapan sahabat akhwatnya saat pulang sekolah tadi,

“Suf, afwan sebelumnya. Aku ada amanah dari Anas.” ujar Hanifa.
“Amanah apa, Han?” Sufi sumringah.
“Sekali lagi afwan. Mmm, tadi Anas bilang ke aku. Dia minta aku nyampein ini ke kamu. Dia lagi jatuh cinta.”
Wajah Sufi pucat seketika.
“Dia lagi suka dengan salah seorang cewek. Sebagai temen deketmu aku disuruh ngomong ini ke kamu. Dia, dia minta kamu untuk ngelupain dia.”
“Dia bilang begitu, Han? Nggak mungkin!”
“Iya, dia minta aku ngomong ini ke kamu.”
Seketika air mata Sufi tumpah. Berkucuran. Disertai isakan.
“Dia nggak pengen berbohong terus di hadapa kamu. Sabar, Suf! Cinta emang kadang menyakitkan! Maaf Suf kalo omonganku ini menyedihkan, tapi ini amanah dari akh Anas. Aku cuma disuruh nyampein!”

Kata-kata itulah yang menghancurkan hati Sufi. Sufi hampir nggak percaya Anas yang ia cintai akan seperti ini. “Kok bisa...”, “Kenapa dia...?”, “Dia nggak cinta aku!!!” jerit hati Sufi. Sufi berbaring lemas di atas ranjang. Air matanya tak henti basahi pipi.

Kamu yang menyuruhku untuk menjaga, tapi kamu duluan yang menghancurkannya. Apa aku bisa terima? Bagaimana bisa aku melupakan kenangan saat bersamamu. Kenangan tentang dirimu. Tentang senyummu. Tentang kita! Bagaimana bisa kuseka air mata ini jika namamu selalu kujaga di hati? Sedang kamu menyuruhku untuk lupakan...

Handphone Sufi tiba-tiba berbunyi. Ada sebuah SMS, Sufi lantas membacanya,

“Assalam... Suf, afwan ya! Wassalam.” Pengirim: Anas.
Sufi tidak membalas SMS itu. Ia mengabaikannya. Ia hanya membalas lewat jeritan hatinya, “ Maaf untuk apa? Untuk kebohongan yang kamu tutup selama ini? Percuma meminta maaf pada orang yang sengaja disakiti. Kamu nggak tau kan betapa sakitnya aku ini? Dan kamu nggak tau kan perasaanku?”

Perlahan Sufi membuka satu per satu SMS kiriman dari Anas dahulu. Ratusan SMS dengan sender Anas masih tersimpan di inbox hp Sufi. Ia buka satu per satu SMS itu.

“Assalamualaykum! Eh, Cumi...” sender: Anas.
“Waalaikumsalam! Ih akhi ni lho, aku kan miskolnya baru sekali. Sensitif banget sih!”
“Tapi kan sama aja. Judulnya tetep “Miskol”. Hehe... :) ”
“Iya ya....! Lagi ngapain akhi? Pa kabar?”
“Akhi baik! Sekarang lagi belajar. Uhti lagi ngapain? (Hmmn, pasti lagi senyum baca sms-ku kan?)
“Uhti selalu khoir. Ih akhi ni tau aja lho. Hihi... ^_^ “
“Ya iyalah, akhinya siapa dulu... akhinya uhti... hehe,, “

Sampai pada SMS itu Sufi menghenti membaca. Hatinya semakin perih terasa. Kenangan saat bersama Anas mereka bagai proyektor di senja. Perasaan ini terus mendera membelenggunya. Ia seakan tak kuat lagi. Semua SMS dengan nama pengirim “Anas” ia delete. Air matanya terus basuh basahi pipi.

* * * * *

“Gimana tugas Fisika kita, uhti?” sebuah SMS masuk, dari Anas.
Sufi mambacanya tapi tidak membalasnya. Beberapa menit kemudian Anas kembali mengirim SMS. Isinya,
“Innalillahi... berita duka dari SENIN kepada SELASA, bahwa RABU telah meninggal di hari KAMIS. Jadi diharapkan kepada JUM’AT untuk memberitahukan kepada SABTU bahwa MINGGU libur... ^_^ “

Sufi membiarkan saja SMS itu. Malah di dalam hati Sufi bergumam, “Kamu pikir ini lucu? Kamu pikir ini bisa hapus sedihku? Konyol !!!”. Beberapa saat kemudian sebuah panggilan dengan private number masuk di handphone Sufi. Sufi angkat tapi ternyata cuma miskol. Berulang kali private number itu me-misscall Sufi. Sufi akhirnya geram juga. “Untuk apa kamu urusi aku lagi haa? Pakai private number segala. Aku tahu itu kamu, Nas!” maki Sufi dalam hati.

Sebuah SMS dari Anas tiba-tiba masuk lagi,

“Kenapa nggak bales?”
Sufi mengabaikan.
“Kamu menghukum aku ya?”
Sufi biarkan.
“Maafin aku...”
Sufi kembali mengabaikan.
“Tolong balas SMS-ku!”
“Ah, kupikir kamu tidur, Sufi!”
“Mungkin kamu nggak ada pulsa.”

Setelah SMS itu Anas tak lagi mengirim SMS ke Sufi. Sakit di hati Sufi belum embuh. Kesedihan masih bercokol di relung jiwanya. Hatinya berulang kali menjerit. “Akhi... tolong aku! Biarkan aku sendiri. Jangan urusi aku lagi...”

Perlahan Sufi membuka facebook dari hape-nya. Ia update statusnya:

“Semua kata-kata darimu tak ada guna. Percuma. Tak juga mampu meredam api dan memupus sesal. Perhatian macam apa itu? Katamu menghiburku, tapi bagiku siksa sakit yang buatku makin terpuruk. Tak berdaya. Biarkan saja aku jika kau memang ingin buatku bangkit isai terperosok begitu dalam!”

Ia update lagi statusnya:

“Kamu ulangi lagi hal itu. Bukankah sudah kukatakan? Tak perlu pedulikanku jika ingin buatku bangkit meski hanya mengucap kata “maaf”. Sangat berat... akhi, sangat berat menjaga hati yang diliputi rasa “tak percaya” atas cintamu yang khayal. Aku kadang rela membeli senyum pelangimu meski kutahu itu malah menambah pesakitanku. Tolong akhi, biarkan aku sendiri. Agar aku tak harus rusuh begini dan terbenam.”

Nggak lama kemudian Hanifa mengomentari status Sufi, “Allah udah memberikan yang terbaik untuk kamu, karena mungkin selama ini kamu mengagung-agungkan cintamu padanya hingga membuat Allah cemburu. Rasanya emang sakit, tapi semua itu nggak perlu disesali terus-terusan, tapi harus diperbaiki, jangan jatuh di lubang yang sama. Oke, Suf!”

Setelah Hanifa, temen Sufi lainnya, seorang laki-laki bernama Dani mengomentari, Dani adalah teman dekat Anas, “Sesuatu yang sudah terjadi jangan disesali. Karena itu hanya kan menumbuh luka hati. Mugkin melupaknnya terlalu sulit. Tapi itu jalan terbaik yang harus dijalani. Ingatlah, tuk mendaptkan sesuatu yang baik itu butuh pengorbanan. Kata Edcoustic, “Sakit yang dirasa biar jadi penawar dosa”. Saat ini Sufi dah melakukan yg terbaik. Posisi seperti ni ga semua orang bisa melewatinya dengan baik. Aku bangga ma Sufi, salut juga! Jangan nyerah ya...”

Setelah membaca komentar dari Hanifa dan Dani, Sufi lantas membalas komentar itu:

“@ Hanifa: Makasih, Han. Itu jadi introspeksi tersendiri buat aku. Kasih semangat terus buat aku ya! Aku mau belajar dari kamu...”
“@ Dani: Jujur aku nggak sanggup. Tapi Dan, kasih aku semangat untuk bangkit ya...!!”

Hanifa kembali mengomentari: “Semua orang harus belajar dari orang lain! Aku sebenernya banyak belajar juga dari kamu, mungkin kamu nggak nyadari. Hehe..., semangat ya! Tunjukkin geh Sufi yang tegar, yang semangat, yang kayak dulu...“

Dani juga mengomentari: “Wattawa shoubil haq, wattawa shoubis shob! Itu kewajiban seorang muslim.”

* * * * *

Senyumnya memudar. Sinar semangatnya menyirna. Detik demi detik waktu di sekolah ia lalui dengan ratap kesedihan. Hatinya masih duka oleh simbahan luka yang belum juga bisa diseka. Motivasinya hilang. Rasa kecewa, dikhianati, dibohongi, disakiti bertumpuk di dalam hati menjadi sebuah perasaan yang menjajah diri. Separuh semangat hidupnya ada dalam hadirnya Anas. Namun kini Anas telah membohonginya. Luka hatinya belum juga sembuh. Genting waktu yang ia miliki kadang terbuang percuma karena memikirkan hal itu lagi: Cinta. Keadaan belum bisa meredakan kekalutan yang mengganjal sanubarinya. Satu-satunya ketenangan untuk sejenak melupakan masalahnya adalah facebook. Facebooklah yang membuatnya sedikit terobati. Tempat ia mencurahkan isi hati dan mengurangi kepenatan hati. Diary-diary nyanyian hati ia tulis di facebook sebagai pencurah kesedihan. Ia curhat kisahnya. Jika sudah membuka facebook, kesedihan yang Sufi alami seakan hilang—meski sementara.

Pulang sekolah. Sufi lantas pergi ke warnet di dekat kost-annya untuk fesbukan. Setibanya, ia langsung online. Ia update statusnya. Temen-temen lain yang online ia ajak chatting. Ia komentarin status temen, ia komentarin juga foto-foto temen. Sufi menulis lagi catatan lagi, lagi-lagi tentang cinta. Apa yang muncul di benak perasaannya langsung ia tulis apa adanya. Demikianlah yang Sufi tulis,

Mengeja, Mengejar, Mengejap, untuk Cinta

Mengeja untuk Cinta (1)

Ketika sampai waktu, rasa itu hadir sendiri, dengan sejuta tebaran mimpi dan pelangi di hati. Entahlah, kadang aku aneh dengan benda abstrak bernama "Cinta". Entah apalah wujud sejatinya Cinta (entah padat, cair, ataukah gas), yang jelas yang kutahu Cinta itu beracun. Cinta itu bisa meracuni otak siapa saja, mungkin bisa menyebabkan orang kena penyakit gila nomor 5 seperti di Laskar Pelangi. Mungkin yang dikatakan Habiburrahman ada benarnya, "Dimana-mana yang namanya jatuh cinta itu sama." Iyakah?

EMBUHLAH!! Yang penting dengan naluriku, kunikmati indah-indah ini. Fitrah ini memang begitu membuncah bagi yang merasa. Dan fitrah ini bernama Cinta. Dia menjemput aku yang sudah waktuku. Ku-eja keindahannya; C-I-N-T-A!

Oh, indahnya. Sejuk. Memang sungguh seluruh, ini kukuh, ini mampu menggerakkan hati yang runtuh.

Ku-eja lagi kata itu: C-I-N-T-A! Yah, kuhirup lagi bau Cinta...

Mengejar untuk Cinta (2)

Ketika bermekaran tengah jajah jejali diri di asa ada satu titik jiwa yang menyata ekuilibrium "rasa". Rasa itu membuncah menyeruak menebar hingga mematahkan sifat kurang dan pendiamku. Ya, rasa itu makin meracuni otak, fikiran, rasa, dan asa. Gegap sesak rindu makin penuhi isi dada yang mencipta. Sayap-sayap cintanya mengepakkan hati tuk memberi, berbuat, dan berkorban lebih. Darinya usai ku-eja, kukejar Cinta. Meski utuh lelah sungguh, ini begitu indah...

"Kejar mega!" teriak Cinta usai ku mengeja.

Mengejap untuk Cinta (3)

Semakin selami makin gawat penyakit Cintaku di pelosok hati hingga capai stadium gila nomor 5. Hatiku ngilu bersimbah luka. Berjuta ribu tanya menyeruak tak percaya.

Kenapa? Kenapa dia...? Kok bisa ya? Apakah dia...? Ah, berbagai kalimat 5W1H lainnya dan pertanyaan "tak percaya" menebas batang leher kemanusiaanku. Dan aku pasrah tanpa daya. Baru kurasai rasa ini buta. Aku hanya bisa meratap sesap dan mereka kenangan yang sudah. Masih sulit bagiku menyeka gambaran klasik itu dari kanvas hati. Diam esensi. Aku mati gara-gara rasa yang kusembah.

Dan aku mengejap mata, heningkan cipta semua semua semua ejaan fana manis bernama: C-I-N-T-A!

Lupakan kata gairah: Kejar Mega!

Mulai sekarang aku mengejap untuk Cinta, dan membenci kata maafnya. Kusimpulkan epilog ini, ”Dimana-mana yang namanya sakit Cinta itu sama!”

Setelah Sufi menulis catatan itu, ia buka beranda. Ternyata ada satu permintaan pertemanan. Nama yang meng-add-nya adalah “Ihsan Dhoif”. Sufi tidak mengenal nama itu, dan foto yang digunakan oleh orang yang meng-add-nya pun hanya gambar animasi. Sufi sedikit curiga, “Jangan-jangan ini Anas. Di facebook kan nama bisa dipalsuin. Aku confirm apa nggak ya...” hati Sufi bicara. Tapi akhirnya Sufi meng-confirm juga permintaan pertemanan itu. Dan seketika itu sebuah pesan chatting masuk, ternyata dari orang yang meng-add Sufi tadi, yaitu Ihsan Dhoif,

“Assalamu’alaikum. Makasih ya ydah confirm add-an ku...”
“Waalaikumsalam! Iya, makasih juga udah add aku. Ini siapa ya?” balas Sufi.
Ihsan : Ini Ihsan, nggak kenal ya? Kamu Sufi yang anak yang nge-kost di depan SMA itu kan?”
Sufi : Ihsan yang mana ya? Kok tahu kalo aku anak kost?”
Ihsan : Aku kenal kamu karena aku anak SMA kamu juga, tapi udah lulus, tahun kemaren. Masak nggak kenal dengan Ihsan mantan wakil ketua OSIS? Hehe...”
Sufi : Oo udah tamat to, aku manggilnya kakak ya. aku nggak kenal, mungkin kalo ngeliat wajah kakak baru aku kenal, hehe... aku dulu nggak seberapa kenal dengan kakak kelas.
Ihsan : Nggak papa, nggak masalah.
Sufi : Kakak kuliah dimana?
Ihsan : Kakak nggak kuliah, cos terbentur biaya. Abis tamat SMA kakak langsung fokus nyari duit... hehe :) “
Sufi : Enak dunk yang udah punya duit, hehe... Kalo nggak kuliah ntar mau jadi apa Kak?
Ihsan : Eh, kesuksesan itu nggak diukur dari kuliah ato nggak. Tergantung kitanya aja mau usaha apa nggak. Rezeki Allah itu luas lho dek... Dunia juga luas, nggak selebar daun telinga. Rezeki ada dimana-mana. Kesuksesan = karunia, dan karunia Allah itu seluas Surga... ^_^ . Iya sih banyak duit, tapi capek!
Sufi : Iya juga ya Kak, aku doain deh biar kakak sukses di dunia, juga akhirat. Ngomong-ngomong kakak kerjanya apa? (Kalo dunia selebar daun telinga kecil banget dong Kak! Hehe)
Ihsan : Kalo pagi nyampe siang kakak jadi penjaga warnet. Kalo siang kakak ngajar bimbel matematika anak SMP. Dan kalo sore kakak ngajar ngaji di masjid muslimin.
Sufi : Wuiih, padet juga jadwalnya, kayak artis aja. Salut deh ama kakak. Kakak multitalent. Kok kakak bisa ngajar bimbel? Apa ilmunya cukup, kan cuma tamat SMA.
Ihsan : Gini-gini kakat pinter tau... Dulu pas SMA kakak juara 1 olimpiade Mtk, pernah juga juara LCT MIPA. Nah kebetulan yang punya kursus bimbel kenal dengan kakak, dia tahu kalo kakak dulunya berprestasi, dan dia yakin kakak bisa buat ngajar bimbel di tempatnya. Dan akhirnya dia bilang, “Kamu emang master matematika. Siswa bimbel pada seneng dengan cara ngajar kamu” gitu ceritanya.
Sufi : Wah, enak banget Kak. Memang ternyata rezeki Allah itu nggak kemana-mana ya Kak. Salut banget aku ama kakak!
Ihsan : Yang penting nggak lupa untuk selalu bersyukur...

Chatting antara Sufi dan Ihsan berhenti sejenak. Meskipun baru pertama kali chatting tapi obrolan mereka kerasa hangat dan dekat. Sufi kembali melanjutkan chat-nya,

Sufi : Oya Kak, kakak penjaga warnet juga ya?
Ihsan : Iya, emang kenapa?
Sufi : Enak dong, bisa fesbukan terus! Hehe... :)
Ihsan : Kan nggak cuma facebook aja yang bisa kita kunjungi, masih banyak situs-situs yang “bermanfaat” buat kita selain situs pertemanan. Berlebihan dengan facebook nggak baik juga lho...
Sufi : Hehe... warnet yang kakak jaga namanya apa? Per jamnya berapa Kak?
Ihsan : Nama warnetnya “Quantum Net” per jamnya Rp. 2.500. di deket pasar, tau kan?
Sufi : Ih, murah ya! tempatku ngenet ini 3.000 per jamnya.
Ihsan : Makanya lain kali ngenetnya di tempat kakak aja yang lebih murah. Buat Sufi kakak diskon deh, 5.000 per jamnya... hehe.... :)
Sufi : Itu mah bukan diskon namanya, tapi nombok! Kakak ni bisaan aja. Hehe!
Ihsan : Just kidding! Afwan, udah dulu ya Sufi, kakak mau ngajar bimbel dulu. Kakak OFF ya! seneng banget bisa chat ama Sufi. Wassalam...
Sufi : Sama-sama kok Kak. Waalaikumsalam...

Usai chattingan dengan Ihsan Sufi langsung mematikan penghitung waktu dan lantas membayar . ia bersyukur bahwa yang meng-add-nya bukan Anas. Ia juga bersyukur hari ini bisa ber-chat dengan Ihsan yang cukup punya ksesan. Sufi pulang ke kost-an. Senyumnya kembali menyirna. Wajah-wajah dalam kenangan bersama Anas belum bisa hengkang dari kesedihannya...

* * * * *

Ihsan : Assalamualay ikum! Wah, Sufi rajin online euy!
Sufi : Waalaikumsalam. Ah, Kak Ihsan ni bisa aja. Kak Ihsan utu yang online terus, kan penjaga warnet. Hehe! ^_^
Ihsan : Hmmn, menurut Sufi facebook itu baik nggak?
Sufi : Gimana ya... menurut aku fesbukan itu sah-sah aja. Tergantung tujuan orangnya. Kalo tujuannya baik ya baik. Kalo tujuannya jelek ya buruk (x_x). Tapi sepengetahuan aku orang nggunain facebook itu Cuma: update status, seneng-seneng, iseng, dan curhat. Menurut kak Ihsan gimana?
Ihsan : Menurut kakak ya sama, sah-sah juga. Tapi bagi kakak kita tuh di facebook udah kayak artis aja. Apa-apa mau dikomentarin. Semua tentang kita kita buka. Seneng-seneng dengan mengekpresikan diri. Sebuah ajang untuk eksistensi diri. Tapi kenapa ya kita bisa terlena dengan ini? Padahal itu kan kurang baik...
Sufi : Sebenernya Sufi juga tau. Mbakku pernah bilang, “Curhat di Fb itu nggak sepentesnya.”, dan aku pernah nerapin. Tapi akhirnya ikut-ikutan juga. hehe... :)
Ihsan : Sufi kenal ama guru fisika kan, Pak Ayo, dia pernah bilang kalo facebook itu adalah teknologi yang diciptakan tapi tidak bermanfaat. Ada benernya juga sih, tapi disamping itu semua, facebook bisa menjadi sarana yang bermanfaat banget buat mereka yang “bener-bener” mau mengambil manfaat dari facebook, jadi nggak Cuma sekedar mencari pertemanan.
Sufi : Yah, mungkin karena udah fitrah manusia: cenderung ingin diperhatikan dan diberi perhatian. Facebook oh facebook... aku kecanduan kamu!!
Ihsan : Boleh fesbukan, asal jangan ninggalin BELAJAR. Kayak Sufi, masak ulangan kimia remedial. Hehe...

Sufi terkejut. Dari mana Ihsan tahu bahwa dia remedial saat ulangan mata pelajaran kimia? Padahal Sufi tidak memberitahunya, bahkan tidak menulisnya di facebook tentang hasil ulangannya. Sufi jadi ingat kejadian di sekolah saat ia dipanggil oleh guru kimia di kantor ketika istirahat.

“Sufi, kok nilai ulangannya bisa kecil sih? Masak cuman dapet lima koma dua?” ledek Bu Dwi, guru kimia.
“Aduh bu... kemaren soal-soalnya banyak yang njebak bu. Sufi kurang teliti bu ngerjainnya!” kata Sufi mencoba mengelak.
“Nggak teliti apa nggak belajar?”
“Eee... belajar sih bu...”
“Belajar kimia apa belajar fesbukan ayo?”
Sufi terlihat memucat.
“Belajar beneran bu...”
“Pasti nilai kamu kecil gara-gara facebook nih. Harus dibatasi dong! Jangan terlalu berlebihan menggunakannya. Masak ibu lihat tiap hari lebih dari lima sampai enam kali Sufi update status. Masak ibu harus ngingetin terus buat Sufi belajar. Berjam-jam di komputer tahan, masak belajar enggak.”

Sufi tercenung diam. Ibu Dwi melanjutkan,
“Yang Ibu kenal Sufi itu tiap ulangan nilainya selalu besar. Ini kok kecil? Mulai sekarang dikurangilah main-mainnya. Nggak usah pake alasan ini itu lah, Ibu itu tahu! Ya!”
“Ya, Bu!” ucap Sufi lirih dengan kepala tertunduk.
“Ya udah sekarang Sufi kembali ke kelas. Pokoknya ibu nggak mau lagi liat Sufi remedial di mata pelajaran kimia. Oke!”
“Iya, Bu. Maaf udah buat ibu kecewa!”
Sufi lantas kembali ke kelasnya.

Ternyata sedari tadi Sufi terbengong beberapa saat lamanya memikirkan kejadian istirahat di sekolah tadi. Sufi penasaran dari mana Ihsan bisa tahu bahwa ia remedial kimia. Tiba-tiba ada pesan chat baru dari Ihsan,

Ihsan : Sufi, masih ada disana? Lama amat. Kok nggak dibales? :D
Sufi : Maaf kak tadi aku kepikiran sesuatu. Ih, kak Ihsan tau dari mana kalo aku remedial kimia?
Ihsan : Ya tau lah. Kakak kan sedikit bisa Mind Reading!
Sufi : Eleh boong, coba kalo gitu baca pikiran aku sekarang!
Ihsan : Boleh. Sufi pikirin salah satu angka ya! Bebas berapapun!
Sufi : Udah.
Ihsan : Kaliin 2!
Sufi : Udah
Ihsan : Tambah 10!
Sufi : Udah
Ihsan : Bagi 2!
Sufi : Udah
Ihsan : Kurangin dengan angka awal!
Sufi : Udah.
Ihsan : Yak! Sekarang kakak udah mulai menangkap angkanya. Daaann... menurut kekuatan pikiran kakak, hasil akhirnya adalah... “5” bener kan?
Sufi : Wah, kakak hebat ya!
Ihsan : Iya dong siapa dulu. Sebenernya Sufi kakak kerjain, itu kan rumus! Hehe.... :)
Sufi : Ih, kakak curang. Masak aku dikerjain... hiks, hiks, ^_^
Ihsan : Hehe... jus puding! Cuma becanda! :)
Sufi : Kak nama ID kakak kok ada “Dhoif”-nya? Bukannya sebagai manusia tu kita harus kuat?!
Ihsan : Emang bener sebagai manusia kita harus kuat, harus tegar dan berani. Tapi kan di hadapan Allah siapapun di bumi ini sangatlah lemah. Dia Maha Kuat! Kita nggak bakal bisa ngelakuin apa-apa tanpa izin dan karunia-Nya yang membuat kita bisa melakukan. So, manusia itu dhoif... dhoif banget dihadapan-Nya!
Sufi : Makasih kak penjelasannya. Kalo gitu nama ID-ku boleh nggak kutambah “Dhoif”-nya? Jadinya “Sufi Fatiya Dhoif”. Hehe... boleh nggak?
Ihsan : Jangan geh. Ntar orang bilang Sufi siapa-siapanya kakak lagi, hehe... Bagusan “Sufi Fatiya” aja. Orisinil. ^_^
Sufi : Ya udah deh kalo gitu. Btw nama asli kak Ihsan apa sih?
Ihsan : Nama alsi kakak is, “Fathul Ihsan”.
Sufi : Yang bener? Nggak boongan, Kak?
Ihsan : Emangnya buat apa kakak booang?
Sufi : Ya buat ngebohongin aku lah. Siapa tahu kan nama aslinya “Bejo” or “Joko” or siapa tahu “Sukimin”. Hehe.
Ihsan : Sufi nih bisa aja. Tapi bener kok, itu nama asli kakak!
Sufi : Namanya bagus, Kak! Sebagus kapur ajaib. (hehe, nggak nyambung!) becanda, Kak...
Ihsan : Oke lah kalo begitu ^_^ . Kakak kemaren ngeliat-liat notes Sufi, bagus lho, kakak suka. Sufi pinter juga nulisnya. Dalem euy!
Sufi : Ehm, aku jadi GeeR ndengernya, hehe! Aku emang sedikit suka nulis. Belakangan aku lagi terinspirasi banget dengan cinta. Aku tulis apa yang aku rasa.
Ihsan : Cie cieee, ehmm! Afwan, dah dulu ya, Suf! Kakak OFF ya. Wassalamualaikum. Dada Sufi...
Sufi : :) Waalaikumsalam! Punggung kakak... (hehe kidding)

* * * * *



Sejak Sufi berteman dengan Ihsan di facebook, mereka jadi sering chattingan kalo online. Ihsan sudah seperti kakak bagi Sufi. Sufi sebenarnya sangat penasaran dengan siapa dan yang mana Ihsan itu sebenarnya. Ia merasa bodoh mengapa saat ia kelas X dulu tidak mengenal Ihsan.

Suatu ketika Sufi bertanya pada anak pemilik kost-an yang masih kecil, namanya Nadia. Kebetulan Nadia yang masih kelas tiga SD itu belajar mengaji di masjid muslimin, tepat dimana Ihsan mengajar ngaji saat sore hari. Sufi harap Nadia sedikit tahu tentang Ihsan.

“Nadia, kakak boleh tanya nggak?” tanya Sufi.
“Boleh... Kak Sufi mau tanya apa?” jawab Nadia.
“Nadia belajar ngaji tiap sore di masjid muslimin ya?”
“Iya...”
“Kenal nggak sama Kak Ihsan?”
“Kenal. Dia itu guru ngaji Nadia, Kak! Dia itu baik lho, Kak. Ramah, ganteng, perhatian, penyayang sama anak-anak lagi. Semua murid ngaji pada nge-fans deh sama Kak Ihsan. Nadia juga nge-fans!”
“Ih, Nadia kecil-kecil udah pinter nge-fans...” ucap Sufi sambil mencubit kecil pipi Nadia.
“Abis Kak Ihsan tu baik, Kak! Lho, tapi kenapa Kak Sufi nanya-nanya soal Kak Ihsan? Hayyoo, Kak Sufi naksir ama Kak Ihsan ya.....” ujar Nadia sambil tertawa kecil.
“Ah, enggak. Kakak Cuma nanya aja.” Sufi malu-malu.
“Ehh boong! Pasti kakak naksir ama Kak Ihsan kan?! Hehehe.... ngaku....”
“Hus, Nadia ini bawel lho. Ntar nggak kakak beliin cokelat lagi mau?”
“Iya iya, Kak, maap! Nadia kan Cuma becanda. Tapi kayaknya Kak Sufi cocok deh kalo pacaran sama Kak Ihsan. Hehe...” ledek Nadia lagi.
“Ih, kecil-kecil udah pinter ngomongin pacaran. Nggak boleh tau! Belum cukup umur.”
“Oke boss! Nadia bakal nurutin kata Kak Sufi. Tapi jangan lupa cokelatnya ya! hehe...”

Wah, Kak Ihsan itu emang bener-bener baik rupanya, nadi aja ngakuin kalo Kak Ihsan baik, nyampe nge-fans lagi, batin Sufi bicara. Sufi kembali mengingat kata-kata Nadia barusan, “Dia itu baik lho, Kak. Ramah, ganteng, perhatian, penyayang sama anak-anak lagi...”. Fiuh, kata-kata itu mengiang berulang-ulang di relung hati Sufi.

Nggak lama setelah itu Sufi mbuka facebook lagi. Dia pengen liat profil Ihsan di facebook.

Aktivitas : Penjaga warnet, Guru bimbel, Guru ngaji, Pelatih nasyid.
(Wah, dia pelatih nasyid juga to... Hmm.. ehem...)
Minat : Motivator, Hacker yang baik, Master komputer, Blogger master, Guru, Ustadz, dan Naik haji jika mampu.
(Hehe... bisaan ni kak Ihsan.)
Musik : Nasyid, Instrumental, nggak suka dangdut.
(Sama kayak aku nih, suka musik instrumen juga!)

Tentang Saya : Bukanlah manusia yang sempurna, hanyalah seorang hamba yang dhoif. Tapi aku kan berusaha menyempurnakan sesempurna kemampuan diri sendiri yang telah diberikan Allah untukku. Aku tak ingin kalah dengan keadaan. Tak ingin nyerah aku dengan takdir Tuhan. Sesungguhnya takdir itu adalah ujung akhir dari perjuangan. Fight! Whatever you do, living in the truth!!!

(Kamu menginspirasiku, Kak Ihsan!)

Setelah melihat profil Ihsan Sufi lantas membuka status-status Ihsan. Siapa tahu bisa ia komentari. Selama ini ia belum pernah melihat status-status dari Ihsan. Beginilah status-status dari Ihsan:

“Hujan mengguyur sekujur bumi. Air yang jatuh terus berjalan, mengalir, merambah. Menjalani jalan titah Tuhannya. Air itu hebat, mengajari kita dalam keikhlasan. Bunga-bunga yang tumbuh tanpa disiram, embun pagi yang kita hirup, sejuknya bau tanah yang basah, kemudian sumur kita. Apakah itu bukan karena air? Tercipta satu kata, Subhanallah! So, jadilah seperti Air!”

“Mereka bertanya kepadamu tentang semangat. Jawablah bahwa bara itu masih tersemat di dadamu, bahwa api itu masih bersemayam di dirimu, bahwa matahari masih terbit di hatimu, bahwa letupan itu siap meledak di dalam duniamu. Katakan pada meereka, orang-orang yang meragukan kemampuanmu, bahwa Raksasa itu adalah Dirimu!”

“Semua yang hilang sesungguhnya tidak hilang. Melainkan kembali kepada sang pemilik yang sebenarnya. Hilangkan perasaan memiliki dan tumbuhkan rasa ingin menjaga karena semua yang ada hanyalah titipan. Laa Illaha Ilallah, perjanjian makhluk dengan Tuhannya.”

“Semangat!!! Yakinlah pada hari ini bahwa kita adalah sosok pribadi yang TANGGUH, yang terlalu BESAR untuk khawatir. Terlalu MULIA untuk marah. Dan terlalu BAHAGIA untuk menghadirkan kesedihan. Yuk, kalahkan hari kemarin!”

Ternyata kesemua status-status Ihsan adalah sebuah kata-kata mutiara yang mampu menyemangati siapapun pembacanya. Tidak seperti Sufi yang dalam meng-update status selalu tentang hal pribadinya, kesehariannya, dan perasaannya. Sufi kagum juga dengan Ihsan, kata-kata dari Ihsan sangat menyemangatinya. Sufi mamang menyukai kata-kata motivasi. Ia simpan status tulisan itu di flashdisknya. “Aku harus belajar dari Kak Ihsan! Ya, aku harus belajar...” teriak hati Sufi.

* * * * *

Sungguh aku tak ingin punya musuh
Aku tak ingin resah
Aku tak ingin gelisah
Aku tak ingin susah

Meski,
Sebagian semangatku ada di hadirmu
Aku tak ingin menjadi pengemis
Aku tak ingin mengais dalam dalamnya tangis
Aku tak ingin sepertimu,
Yang terus saja mengganggu dan menambah kebencianku

Tapi aku tak ingin kalah darimu,
Aku tak ingin kalah darimu...

Sufi taruh puisi itu di facebook. Sampai saat ini sudah terhitung duapuluhan notes yang mengungkapkan kisah cintanya, luapan hatinya. Dan begitu banyak sekali update-an status tentang hal yang juga demikian. Ratusan komentar berdatangan. Tapi, Sufi menyukai ini. Ia senang bisa curhat di facebook. Ia senang bisa bercerita di facebook. Ia tidak memikirkan apa jadinya nanti, yang penting baginya ia bisa mengurangi beban yang ia derita karena Anas selama ini.

Setelah memposting puisi itu Sufi lantas melihat daftar obrolan, siapa tahu ada seseorang yang bisa ia ajak chatting. Tapi sayangnya tak satupun teman yang online. Sufi jadi sedikit bingung, “Masak nggak ada satupun yang bisa diajak chatting sih? Masak dari limaratusan temenku nggak ada yang online satupun? Apa facebook lagi error ya?” gumam Sufi dalam hati.

Perlahan ada sebuah pesan chat masuk. Sufi menyinggungkan senyumnya. Dan ternyata pesan chat itu dari Ihsan.

“Assalamualaikum! Sufi, kakak ngirim messege ke Sufi. Buka inbox Sufi ya...” tertulis di kotak chat Sufi. Sufi langsung membalasnya, “Waalaikumsalam. Kakak ngirim messege apaan kak?”. Namun sayangnya saat Sufi menekan tombol enter Ihsan langung offline, balasan tersebut tidak sampai dibaca oleh Ihsan.

Dengan penasaran Sufi langsung mengecek inboxnya. Ternyata benar ada sebuah messege dari Ihsan. Sufi membacanya dengan perlahan.

Untuk Sufi Fatiya...

Assalamu’alaikum warahmatullah!

Kakak mohon maaf sebelumnya kalo messege ini ngeganggu Sufi. Sufi, kakak sangat senang bisa mengenal Sufi dan menjadi teman saat ini. Dan ada satu hal yang nggak bisa hati membohongi, ingin rasanya kakak menjadi kakak sungguhan bagi Sufi, yang nantinya akan kakak sayangi dan kakak bimbing jalan langkahnya, kakak tuntun titian tiap derap lakunya, kakak ajari dalam kebaikan.

Sufi, kakak bukannya lancang, atau bermaksud menggurui Sufi. Kakak sudah membaca semua notes Sufi dan status-status Sufi. Nggak bisa dipungkiri kalo semua yang Sufi tulis adalah benar-benar terjadi dengan Sufi. I can feel it, kacamata sahabat bisa menerawang isi hati sahabatnya. Kakak bisa merasakan ruh dari tulisan Sufi. Kakak tahu Sufi lagi patah hati. Kakak tahu kalo Sufi nyimpen kekesalan sama seseorang. Dan kakak tahu dendam itu masih mengganjal nyampe sekarang.

Menurut kakak, Sufi terlalu berlebihan dalam mengungkapkan itu. Coba liat aja, setiap hari Sufi selalu mengupdate status tentang kekesalan, tentang kedongkolan terhadap seseorang tentang cinta. Dan tiap hari Sufi lebih dari 5-6 kali update status serupa yang demikian. Lain lagi dengan catatan. Banyak juga catatan tentang diri pribadi dan hal yang Sufi alami—cinta. Sebenernya kakak kagum karena Sufi sangat pinter menulis. Tapi bagi kakak, haruskah hal itu diungkapkan? Sebenarnya yang Sufi inginkan itu apa? Kalo ketenangan, seharusnya Sufi mendekatkan diri pada Allah. Bukan mengekspos suatu hal yang sangat pribadi kepada orang lain, dan mengundang komentar-komentar banyak orang.

Sufi waktu itu pernah bilang sama kakak, “Curhat di facebook itu nggak sepantesnya.”, lhaa terus kenapa Sufi malah terus-terusan lakukan? Bukankah mengumbar hal-hal pribadi itu adalah sama saja membuka aib sendiri dan aurat? Sufi, cukup Allah aja yang tahu hal itu. Nggak perlu Sufi ceritakan ke banyak orang. Kakak tahu Sufi lagi patah hati dengan seseorang, tapi pantaskah, santunkah seorang “Akhwat” bercerita ke ratusan orang tentang auratnya? Pantaskah seseorang menjajakan kesehariannnya, kebaikannya, kesialannya, perasaannya, dihadapan orang lain? Layaknya artis yang senang untuk dikomentari atas masalahnya?

Kakak udah lama mau ngingetin Sufi tentang hal ini, tapi kakak pikir hari demi hari mungkin hal itu akan sirna dengan sendirinya. Tapi, setelah kakak biarkan ternyata Sufi tetap. Adik Sufi, status-status seperti yang sering Sufi kirim sangatlah berpotensi merusak hati yang ngebaca dan Sufi sendiri tentunya.

Sufi juga kudu tahu, facebook itu sebelah surga sebelahnya lagi neraka. Tergantung kita gimana menyikapinya. Facebook bisa jadi neraka kalo waktu kita terjajah karenanya. Facebook bisa jadi neraka kalo kita hanya mencari perhatian orang lain atas apa yang kita lakukan yang kita pamerkan. Yuk kita insrospeksi diri dulu, senenernya motivasi kita fesbukan itu apa. Benar-benar ingin mencari” teman” atau untuk kesenangan doang. Atau ajang untuk unjuk kebolehan dan eksistensi diri. Atau mengharap simpati dari orang dengan kedok pertemanan. Coba kita liat daftar nama-nama teman kita yang ratusan itu, apakah kita membanggakan diri dengan banyaknya teman di facebook dengan berkata, “Ni liat neeh, temen gue banyak!”. Coba kita liat album foto kita, apa motivasi kita yang sebenarnya meng-upload foto kita, hanya sekedar meng-upload atau ingin mendatangkan komentar orang-orang? Liat status-status yang pernah kita update, pantaskah tulisan itu dibaca oleh orang, apa yang kita inginkan setelah meng-update status itu? Ingin diperhatikan, ingin dikomentari, ingin orang lain tahu? Entahlah, hanya kita yang tahu.

Yuk mulai sekarang kita update status kita tentang hal-hal yang bisa ada bermanfaat buat orang tanpa ada satu niat yang terselip dari diri kita seperti sifat riya’, ujub, pamer, minta diperhatikan dan mengharap suatu hal lain. Kita bisa aja meng-update status seperti kata-kata mutiara, tausiyah, atau kalimat motivasi yang nantinya nggak bakal ngerusak hati kita dan yang ngebaca. Malah justru bermanfaat buat semua, dan tentunya kita dapet pahala.

Facebook bisa jadi surga ketika kita memang memanfaatkannya untuk memperolah ilmu-ilmu Allah, contohnya bergabung dengan grup-grup yang bermanfaat semisal grup liqo’, grup belajar islam, grup konsultasi masalah tentang akidah atau ibadah, dan masih banyak grup lain yang bisa buat kita paham bahwa pemahaman kita masihlah kurang tentang islam. Kita juga bisa berdiskusi di facebook tentang suatu masalah dengan banyak orang dan pakar, kita juga disana bisa belajar dan bertanya soal pelajaran. Dan kalo Sufi tahu hal ini jauh lebih menyenangkan dari sekedar fesbukan biasa. Jadi kita fesbukannya nggak sia-sia, ada manfaat yang bisa kita petik masing-masing nggak Cuma kesenangan doang yang kita ambil. Tapi jauh lebih dari itu.. Nahh, sekarang yang jadi pertanyaan sudahkah hal itu Sufi lakukan?

Sekali lagi kakak mohon maaf kalo lancang. Kakak bukannya sok tahu atau pengen mangajari Sufi, bukan. Kakak ngirim messege ini karena kakak sayang dengan Sufi. Kakak nulis pesan ini karena kakak tu meratiin Sufi, kakak nggak kepengen Sufi terjebak nantinya. Tapi kalo Sufi nggak mau dengerin kakak nggak papa. Itu emang hak Sufi. Kakak emang manusia yang dhoif yang mungkin nggak patut didengar ucapannya, nggak patut dicontoh lakunya, dan nggak patut dikagumi kharismanya. Sufi berhak bertindak sesuka Sufi setelah membaca tulisan ini. Tapi Cuma ini yang bisa kakak lakukan. Cuma ini yang bisa kakak persembahkan. Karena kakak sayang Sufi. Cuma ini yang kakak bisa berikan...

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakaatuh!

Setelah membaca messege itu ada bulir tetesan di balik kacamata yang menatap kata-kata di monitor itu. Sufi sejadinya menangis tak tertahankan. Ia baru tersadar bahwa selama ini ia telah membuka diri terlalu berlebihan di facebook. Ia malah membanggakan apa yang pernah ia tulis itu, tak pernah terbersit rasa sesal setelah memposting tulisan dan status-statusnya. Namun setelah ada messege dari Ihsan, semuanya ia sesali, semua kebanggaan membuka diri ia sesali, ia merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia selama ini. Mengapa sampai bisanya ia sejauh ini, sampai terjerumus dan perosok dalam kemauan nafsunya sendiri. Ia sesali semua status-status yang pernah ditulisnya. Ia mengutuk dirinya sendiri. Ia ingat status-statusnya yang pernah ia bagikan ke teman-teman, ia merasa telah begitu jauh dan sangat berlebihan mengobral dirinya sendiri. Ia juga ingat apa niat yang ia inginkan sesaat sebelum meng-update statusnya, “pengen ada yang ngomentari”, atau paling tidak “ada yang perhatian dengannya”. Dan anehnya ia membanggakannya.

Mana bisa ia lupakan status-statusnya saat dengan penuh amarah ia luapkan sakit hatinya saat Anas tak lagi mencintainya. Mana bisa lekang dari ingatannya saat ia curhat di notes-nya dengan begitu terbuka dan diketahui banyak orang. Mana mungkin ia bisa ia melupakan foto-foto yang ia upload dengan bangganya, ia sudah tidak lagi malu untuk memajang gambar dirinya di facebook, dalam hatinya ia berkata, “Nih gue!”. Mana mungkin bisa ia lupakan ejekan sumpah serapah pedasnya untuk orang yang suka mengerjainya di facebook, ia tak ingat bahwa ia akhwat, bahwa ia muslimah. Mana mungkin bisa ia melupakan saat chatting dengan orang yang tidak ia kenal layaknya seorang yang berpacaran, dengan kata-kata canda dan mesra yang tidak sepantasnya. Mana bisa hengkang dari ingatannya saat ada seorang cowok yang dengan beraninya menembaknya di facebook. Mana mungkin ia lupa dengan waktu-waktu yang ia dzalimi hanya karena facebook. Ia sangat sering lupa dengan waktu, hingga sore hari baru ia pulang ke kost-an usai dari warnet. Ia juga kadang lupa dengan waktu sholat. Ia lupa dengan Allah. Facebook benar-benar sudah melalaikannya. Akibat kedok pertemanan ombak telah menghempas karang nurani kemanusiaannya.

Wajah Sufi berkucuran penuh air mata. Ia sangat menyesali perbuatannya. Ia berjanji tidak akan pernah lagi melakukan hal yang pernah ia lakukan. Ia tak akan lagi membuka facebook kecuali dalam hal kebaikan. Pesan dari Ihsan benar-benar menjadi tamparan buatnya, menjadi sambaran petir atas berlebihannya ia.

“Astaghfirullah... Astaghfirullahal adzim...” ucap Sufi berulang kali sambil menyeka tangisnya.

Namun ia bersyukur telah diingatkan oleh Ihsan. Ia berterimakasih kerena Ihsan telah menegurnya. Biarlah ia menganggap paling membenci dirinya sendiri hari ini. Yang terpenting hari ini adalah ia mendapatkan yang namanya hidayah. Ya, hidayah! Hidayah yang akan membuatnya tentram. Tanpa beban. Tanpa dendam. Hidayah yang membuatnya sadar akan kebesaran Allah dan pesona Allah. Hidayah yang membuatnya hijrah pada kedekatan kepada Allah. Hidayah yang membuatnya bangkit usai terperosok terlalu dalam. Hari ini ia mendapat pelajaran yang sangat berharga.

Setelah menghapus air matanya Sufi langsung keluar bilik dan membayar kepada penjaga warnet. Mata Sufi berkaca-kaca. Sinar Ihsan menyala-nyala bersemayam di relung jiwanya. Merekahlah kuncup bunga kekaguman di hatinya. Dalam hati Sufi bicara,

“Berawal dari facebook baruku, kau datang dengan cara tiba-tiba...”

* * * * *


4 komentar:

  1. asalamualaikum....
    wah... "Facebook Facebook Cinta" critany menarik....
    crita ini dpt memberikan inspirasi kpda orang**, trmasuk jga bwat sya..... untung ny...
    aQ gx gila fesbuk hehe,,,,

    bwad penulis ny... aQ suka dengan karya2 ka' inu..
    kalo ada crita baru kasih tau aQ y.... :d: :c:

    BalasHapus
  2. Waalaikumsalam!!!

    nggak gila pesbuk tapi gila desain blog. hehehe... :f:

    Yups, doain ya bisa terus berkarya lebih bagus dari FFC diatas! amin! :h:

    tentu dong, insya allah bakal dikasih tau nanti... :k:

    BalasHapus
  3. Ayoo kita ngeblog...
    btw kalo engkong pulang, nanti sering2 kita sharing ya hehehe...
    meski cuma secelemit orang yang hobi ngeblog di baradatu tapi yang penting berbagii:e:

    BalasHapus
  4. Yups! yoa mas. masih banyak yang belum kuketahui, dan dengan sharing. mudah2an jadi tambah wawasan blogging. :a: :f:

    ditunggu kepulangannya ke way kanan mas areep! :e:

    BalasHapus

Apa komentar kamu tentang artikel barusan? Tulis ya komentarmu...

Quick Message
Press Esc to close
Copyright © 2013 Langit Inspirasi Untukmu All Right Reserved